Sabtu, 16 November 2013

Ada apa dengan "Pendidikan Kita"....?



 Ada apa dengan "Pendidikan Kita"....?

Miris sekali melihat seorang polisi membawa senjata laras panjang, menjaga distribusi soal-soal Ujian Nasional di salah satu stasiun TV. Apakah perlu senjata untuk menjadikan generasi penerus bangsa ini menjadi pintar, rasa takut yang berlebihankah yang membuat semua orang meningkatkan kewaspadaan luar biasa ini?
Nilai kejujuran dipertaruhkan disana, dimana semua pihak menunjukkan keseriusan bahwa istilah kebocoran soal itu tidak ada, kalaupun ada mungkin itu hanya sekedar orang yang iseng meyusun abjad A s/d E dari no 1 s/d 50.

Seandainya bagsa ini bisa melihat ke belakang, dimana bangsa ini membangun kesadaran pendidikan dari ketertindasan penjajah dan para cendekiawan muda yang memperjuangkan untuk mendapatkan pendidikan yang layak untuk warga negara indonesia. Menangis kah mereka kalau mereka melihat bahwa sekarang pendidikan kita dijajah oleh bangsanya sendiri dengan satu macam sistem standarisasi yang tidak mengenal istilah daerah tertinggal atau kompetensi guru dan siswa di daerah lain.

Kenapa saya menggunakan istilah “menjajah” karena pada kenyataannya para siswa siswi kita “takut” menghadapi ujian nasional itu, terbukti dengan adanya istighosah bersama, stress, malah ada yang sengaja berdoa disebuah makam yang dituakan dengan berbekal air putih.
Kenapa kita harus belajar bahasa Inggris selama 6 tahun, belajar matematika 12 tahun, belajar bhs. Indonesia 12 tahun, ilmu alam 12 th, ilmu” sosial 12 th dan ilmu” lainnya.  Yang paling lucunya setelah mempelajari dalam kurun waktu belasan tahunan itu, mereka  tidak menjadi ahli di bidangnya. Malah ada yang ngambil kursus ditambah bimbingan belajar lagi di luar jam sekolah.
Ada apa dengan sistem pendidikan kita ?  ketika setiap orang sudah mulai disibukkan dengan pembentukan karakter bangsa, maka dimasukkan nilai nilai seperti kejujuran, sikap, keagamaan dll, dan itu tidak mengurangi mata pelajaran utama.  Jadi bertambah banyaklah mata pelajaran yang harus dikuasai seorang siswa.

Kuncinya mungkin hanya satu yaitu menjadikan pola pikir yang asalnya hanya mengikuti sistem sesuai tingkatan pendidikan, diganti dengan  pola pikir bahwa belajar itu tidak berbatas dan setiap orang berhak untuk mendapatkan percepatan waktu dalam menempuh pendidikannya. Kalau perlu mereka bisa memiliki silabusnya, sehigga mereka bisa menentukan sendiri  kapan mereka bisa mecapai kompetensi yang diharapkan.