Ada apa dengan "Pendidikan Kita"....?
Miris sekali melihat seorang polisi membawa senjata laras
panjang, menjaga distribusi soal-soal Ujian Nasional di salah satu stasiun TV.
Apakah perlu senjata untuk menjadikan generasi penerus bangsa ini menjadi
pintar, rasa takut yang berlebihankah yang membuat semua orang meningkatkan
kewaspadaan luar biasa ini?
Nilai kejujuran dipertaruhkan disana, dimana semua pihak
menunjukkan keseriusan bahwa istilah kebocoran soal itu tidak ada, kalaupun ada
mungkin itu hanya sekedar orang yang iseng meyusun abjad A s/d E dari no 1 s/d
50.
Seandainya bagsa ini bisa melihat ke belakang, dimana bangsa
ini membangun kesadaran pendidikan dari ketertindasan penjajah dan para
cendekiawan muda yang memperjuangkan untuk mendapatkan pendidikan yang layak
untuk warga negara indonesia. Menangis kah mereka kalau mereka melihat bahwa
sekarang pendidikan kita dijajah oleh bangsanya sendiri dengan satu macam
sistem standarisasi yang tidak mengenal istilah daerah tertinggal atau
kompetensi guru dan siswa di daerah lain.
Kenapa saya menggunakan istilah “menjajah” karena pada
kenyataannya para siswa siswi kita “takut” menghadapi ujian nasional itu,
terbukti dengan adanya istighosah bersama, stress, malah ada yang sengaja
berdoa disebuah makam yang dituakan dengan berbekal air putih.
Kenapa kita harus belajar bahasa Inggris selama 6 tahun,
belajar matematika 12 tahun, belajar bhs. Indonesia 12 tahun, ilmu alam 12 th,
ilmu” sosial 12 th dan ilmu” lainnya.
Yang paling lucunya setelah mempelajari dalam kurun waktu belasan
tahunan itu, mereka tidak menjadi ahli
di bidangnya. Malah ada yang ngambil kursus ditambah bimbingan belajar lagi di
luar jam sekolah.
Ada apa dengan sistem pendidikan kita ? ketika setiap orang sudah mulai disibukkan
dengan pembentukan karakter bangsa, maka dimasukkan nilai nilai seperti
kejujuran, sikap, keagamaan dll, dan itu tidak mengurangi mata pelajaran
utama. Jadi bertambah banyaklah mata
pelajaran yang harus dikuasai seorang siswa.
Kuncinya mungkin hanya satu yaitu menjadikan pola pikir yang
asalnya hanya mengikuti sistem sesuai tingkatan pendidikan, diganti dengan pola pikir bahwa belajar itu tidak berbatas
dan setiap orang berhak untuk mendapatkan percepatan waktu dalam menempuh
pendidikannya. Kalau perlu mereka bisa memiliki silabusnya, sehigga mereka bisa
menentukan sendiri kapan mereka bisa
mecapai kompetensi yang diharapkan.